Tradisi Pulang KAMPUNG
Saya akan memposting tentang tradisi pulang kampung yang ada di lingkungan saya
, karena tradisi ini sering dilakukan pada saat perayaan hari besar
Idul
Fitri, Lebaran, dan sejumlah aneka nama lain disematkan berbagai bangsa untuk
menandai berakhirnya bulan suci Ramadhan di dunia. Inilah hari dimana umat
muslim salat bersama di pagi hari dan kemudian bersilaturahmi saling bermaafan.
Tradisi mudik menjadi sangat fenomenal karena dilakukan oleh ribuan orang
bahkan jutaan masyarakat indonesia. Sehingga tradisi ini menjadi sebuah sorotan
dan menjadi tradisi khas di Indonesia.
Pada
umumnya masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke
kampung halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang
dihadapinya untuk mudik lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kareta,
berjubel di bis, dan kemacetan panjang di perjalanan. Begitu juga kalau memakai
sepeda motor dengan resiko kepanasan dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam
rangka merayakan hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang
silaturahmi bersama sanak-keluarga.
Mudik
sudah menjadi tradisi dikala lebaran. Jutaan masyarakat Indonesia yang
merantau berbondong-bondong pulang kampung. Mudik atau pulang kampung
adalah hal yang dinantikan dan sekaligus merupakan salah satu kebahagiaan
tersendiri, karena mereka senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal
yaitu kampung halaman serta kangen akan kasih sayang dan belaian kasih
kedua orang tua tercinta.
Istilah Mudik
Mudik
bermakna pergi ke “udik” atau pulang ke kampung halaman. Setidaknya begitulah
seperti yang disebutkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sedangkan
menurut pengertian Wikipedia berbahasa Indonesia, mudik adalah kegiatan
perantau/pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik berasal dari
bahasa jawa “Mulih Dhisik” yang artinya pulang dulu. Istilah mudik
mengalami sinkronisasi dengan istilah Idul Fitri. Ia lebih ditekankan
pemaknaannya pada waktu menjelang idul fitri. Padahal selain idul fitri pun
orang yang kembali ke kampung halaman tetap saja disebut mudik juga.
Tradisi
mudik yang selalu dikaitkan dengan lebaran, terjadi awal pertengahan
dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu kota
besar di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah
kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (1966-1977), berhasil disulap menjadi
kota Metropolitan. Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik,
Jakarta menjelma menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat penampungan
orang-orang udik yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah
akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari
pekerjaan. Di Jakarta eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial
atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran
mereka di Jakarta akan dapat memenuhi harapan hidupnya.
Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari lebaran ada
dimensi keagamaan, ada legitimasi seolah-olah lebaran adalah waktu yang tepat
untuk berziarah. Mudik ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat
memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya.
Itulah
awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai
akar budaya. Jadi sesungguhnya, tradisi mudik lebih disebabkan oleh
problem sosial dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya.
Sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke
bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya seolah-olah di Jakarta
mereka telah mencapai sukses.
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam,
menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran adalah momentum untuk
melakukan tradisi pulang kampung atau yang lazim disebut mudik. Fenomena mudik
yang terjadi di Indonesia merupakan hal unik dan tidak ditemukan di negara lain
terutama jumlah masif pemudiknya dalam waktu yang hampir bersamaan sekitar 1
minggu sebelum hari H dan arus balik dalam seminggu setelahnya.Saat mudiklah
maka para perantau yang bekerja di ibu kota pulang ke kampung halamannya.
Berikutnya ibu kota akan terlihat lengang, tidak seperti biasanya yang padat
dan ramai.
Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah
mempunyai akar budaya. Jadi sesungguhnya, tradisi mudik lebih disebabkan
oleh problem sosial dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya.
Sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke
bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat udiknya seolah-olah di Jakarta
mereka telah mencapai sukses.
Sebuah tradisi yang dilakukan berulang ulang kali dan turun temurun setiap
menjelang akhir Ramadhan dan Idul Fitri adalah tradisi mudik atau pulang
kampung. Orang atau keluarga yang merantau serasa belum sempurna Ramadhannya
dan ber-Idul Fitri jika belum pulang kampung, walaupun mungkin dalam
pelaksanaan Ibadah Ramadhan tidak melaksanakan (secara lengkap) puasa atau
tidak menjalankan Sholat Tarawih serta Sholat lima waktu, namun dalam ber-Idul
fitri berupaya semaksimal mungkin bagaimana dapat pulang kampung dan
melaksanakan Sholat Id di kampung halaman dengan baju baru dan penampilan baru,
atau barang kali juga memperkenalkan istri atau suami atau menantu baru, bertemu
dengan keluarga dan handai taulan.
No comments:
Post a Comment